Dalam deretan ulama Banjar, nama Syeikh Muhammad Nafis
al-Banjari tak kalah masyhur dibanding Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau
Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli syariat, maka Muhammad Nafis dikenal
sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia berhasil
menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.
Dialah pengarang “Durr Al-Nafis” (permata yang indah), kitab
berbahasa Jawi yang dicetak berulang-ulang di Timur Tengah dan Nusantara, yang
masih dibaca sampai sekarang. Dia berada dalam urutan kedua setelah Syeikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari dari segi pengaruhnya atas kaum muslimin di
Kalimantan. Apa yang yang harus dilakukan kaum muslimin agar memperoleh
kemajuan dalam hidup? Mengapa Belanda melarang kitabnya beredar di Indonesia?
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari bin Idris bin Husien, lahir
sekitar tahun 1148 H/1735 M, di Kota Martapura Kalimantan Selatan, dari
keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar, silsilah dan keturunanya bersambung
hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama
Islam sebelumnya bernama Pangeran Samudera.
Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin
Husien bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin
Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain
Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
Muhammad Nafis hidup pada periode sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari.
Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui
tahun wafatnya. Yang kita ketahui, peristirahatan terakhir beliau di Mahar
Kuning Desa Bintaru, sekarang menjadi bagian Kelua Kabupaten Tabalong
Kalimantan Selatan, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin. Tidak ada catatan
pasti tahun pergi menuntut ilmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi
menimba ilmu pada usia dini sangat muda, sesudah mendapat pendidikan
dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya Martapura.
Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak
jauh dari masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga
kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani, Muhammad
al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi al-Mishry (syekh al-Azhar sejak 1207
H/ 1794 M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-Sammani) dan Abdurrahman
bin Abdul Aziz al-Maghribi.
Dari para gurunya itu, Muhammad Nafis banyak belajar
tasawuf. Sekian lama ia mematangkan pengetahuan dan lelaku tasawufnya sampai ia
diberi gelar kehormatan “Syekh Mursyid.” Dengan gelar itu, ia beroleh ijazah
untuk mengajarkan dan membimbing ilmu tasawuf kepada orang lain. Pencapaian itu
tentunya tak mudah dan instan, tapi membutuhkan waktu latihan dan perenungan
yang sangat lama.
Sekian lama berada di Mekkah, ia akhirnya kembali ke
Nusantara, diperkirakan pada 1210 H/1795. Saat itu, yang memerintah di Banjar
adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Tapi, karena
Nafis tak suka dekat dengan kekuasaan, ia memilih meninggalkan Banjar dan
berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah yang terletak sekitar 125 km dari
Banjarmasin. Alasan lain adalah perkembangan Islam di daerah sekitar Martapura
dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh Muhammad Arsyad.
Sedang daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum
terjangkau oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis
mengenalkan Islam di sana. Berkat kegigihannya, daerah itu kemudian menjadi
salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan. Juga menjadi daerah
yang turut melahirkan para pejuang anti-Belanda.
Dalam berdakwah, Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok
pengembang tasawuf yang andal. Meski di Banjar saat itu terjadi pertentangan
antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai
pengembang wujudiyyah, dakwah tasawuf ala Muhammad Nafis berlangsung dengan
lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang diusungnya, yakni
“merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi yang diposisikan secara diametral.
Ia juga tampak tak terikat dengan satu tarekat secara total.
Shingga, menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah,
Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keikutsertaan Muhammad
Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu seolah menunjukkan bahwa suluk menuju
Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai jalan, tak hanya mengandalkan satu jalan
saja. Juga menunjukkan betapa pengetahuan tasawuf Muhammad Nafis sangatlah
mendalam.
Ciri khas ajaran tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat
aktivisme yang kuat, bukan sikap pasrah. Ia dengan gamblang menekankan
transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari menolak determinisme fatalistik
yang bertentangan dengan kehendak bebas. Menurutnya, kaum muslim harus aktif
berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan hanya berdiam diri dan
pasrah pada nasib.
Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut
membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah.
Malah, konon, setelah membaca kitab karangannya, orang menjadi tak takut mati.
Situasi ini jelas membahayakan Belanda karena akan mengobarkan jihad. Tak heran
kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran
Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran sampai pelarangan. Namun, dakwah
Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia wafat.
ISLAM DI KALIMANTAN
Bebeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat
pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha
penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya
sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran
Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam
mengembangkan Islam di Kalimantan.
Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang
misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada
awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai
momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk
membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di
Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam
pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan
Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i
Arab.
Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap
sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan
kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya
terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat
perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu,
kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar
pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga
masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari
kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan
penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan
terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses
Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan
gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.
DAYA SPIRITUAL DAN KEWAJIBAN SYARIAT
Tak banyak karya yang ditinggalkannya. Namun, karya-karyanya
senantiasa menjadi rujukan, tak hanya bagi kaum muslim Nusantara, tapi juga
mancanegara. Di antara kitabnya adalah al-Durr al-Nafs. Nama kitab “Durr
Al-Nafis” sesungguhnya amatlah panjang. Lengkapnya, kitab yang ditulis di Makkah
pada 1200/1785 ini: “Durr Al-Nafis fi
Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma’ wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Taqdis”. Kitab
ini berkali-kali dicetak di Kairo oleh Dar Al-Thaba’ah (1347/192 8)dan oleh
Musthafa Al-Halabi (1362/1943), di Makkah oleh Mathba’at Al-Karim Al-Islamiyah
(1323/1905), dan di berbagai tempat di Nusantara. Kitab ini menggunakan bahasa
Jawi, sehingga dapat dibaca oleh orang-orang yang tidak faham bahasa Arab.
Seperti diungkapkan Azyumardi Azra, dalam kitabnya itu,
Muhammad Nafis dengan sadar berusaha mendamaikan tradisi Al-Ghazali dan tradisi
Ibn ‘Arabi. Dalam karyanya ini, di samping menggunakan ajaran-ajaran lisan dari
para gurunya, Nafis merujuk pada karya-karya “Futuhat Al-Makkiyah” dan “Fusushl-Hikam” dari Ibn ‘Arabi, “Hikam” (Ibn
Atha’illah), “Insan Al-Kamil” (Al-Jilli), “Ihya’ ‘Ulumiddin” dan “Minhaj
Al-‘Abidin (Al-Ghazali), “Risalat Al-Qusyairiyyah” (Al-Qusyairi), “Jawahir wa
Al-Durar” (Al-Sya’rani), “Mukhtashar Al-Tuhfat al-Mursalah” (‘Abdullah bin
Ibrahim Al-Murghani), dan “Manhat Al-Muhaammadiyah” karya Al-Sammani.
Kitab itu membicarakan sufisme dan Tauhid, menjelaskan
maqam-maqam perjalanan (suluk) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al-Durr
al-Nafs ditulis atas permintaan sahabat-sahabatnya ketika berada di Mekkah.
Menurut penuturannya, ia menulis kitab itu untuk menyelamatkan para salik
(perambah jalan Tuhan) dari syirik khafi dan penyakit riya’ yang umum
menghinggapi umat muslim. Kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu Arab untuk
memudahkan umat membaca dan memahaminya. Karena mutu dan ajarannya yang tinggi,
kitab itu dicetak berkali-kali, baik di dalam maupun luar negeri.
Sebagai penganjur aktivisme-sufistik, kontribusi Muhammad
Nafis al-Banjari dalam membangun Islam di Banjar sangatlah besar. Tak aneh
kalau kemudian ia diberi gelar Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila
Tariq as-Salamah (Yang mulia, berilmu tinggi, terhormat, pembimbing ke jalan
kebenaran) sebagai bentuk penghormatan masyarakat atas jasa-jasanya. Menimbang
pencapaian dan prestasinya, gelar itu memang tak berlebihan baginya.
Bagi generasi muda masa kini, kita berharap saatnya untuk
mengenang kembali, kemudian menghargai dan meneruskan cita-cita dan perjuangan
Muhammad Nafis al-Banjari dalam konteks kekinian. Selain itu, menelusuri
jejak-jejak sejarah beliau mampu merekatkan kembali jalinan psikologis dan
spiritual dari sang ulama tersebut. Dari peran beliau kita dapat mengetahui
akar-akar pemikiran, akar-akar perjuangan, serta pengaruh yang muncul dalam
fenomena kebangsaan kita. Sehingga paparan ini dapat memberikan gambaran utuh
mata rantai perjuangan tokoh-tokoh Islam dulu, kini dan esok.
Gambaran tersebut akan sangat berarti bagi individu-individu
yang ingin mempelajari dan menelaah kembali jaringan ulama Kalimantan yang
mempersembahkan dedikasi dan loyalitasnya untuk pembangunan bangsa.
KARYA
Karya beliau yang terkenal ialah ad-Durr an-Nafis. Kitab
tersebut selesai ditulis pada 27 Muharam 1200 H/30 November 1785 M. Cetakan
pertama kitab ini ditashhih oleh Syeikh Ahmad al-Fathani, di Mathba'ah
al-Miriyah bi Bulaq, Mesir al-Mahmiyah. Pada terbitan pertama tercantum syair
Syeikh Ahmad al-Fathani:
"Berpeganglah kamu dengan ilmu orang sufi, Nescaya kamu
menyaksikan bagi Tuhanmu itu keesaan. Wahai yang meninggalkan sebaik-baik teman
sekedudukan, Adalah kitab ini mengandung maksud keseluruhan, Seperti lautan, daripadanya
tiap-tiap yang berharga penilaian''.
Sebagai keterangan lanjut Syeikh Ahmad al-Fathani
mencatatkan, ``Ketahui olehmu hai yang waqif atas kitab ini. Bahawa segala
naskhah kitab ini sangatlah bersalah-salahan setengah dengan setengahnya, dan
tiada hamba ketahuikan mana-mana yang muafakat dengan asal naskhah Muallifnya.
Maka hamba ikutkan pada naskhah yang hamba cap ini akan barang yang terlebih
elok dan munasabah. Dan tiada hamba kurangkan daripada salah suatu daripada
beberapa naskhah itu akan sesuatu kerana ihtiyat''.
Ad-Durr an-Nafis cetakan pertama Syeikh Ahmad al-Fathani
telah memberi keterangan beberapa istilah seperti terdapat pada
kalimat-kalimat:
1. Maka hendaklah lihat olehmu kepada
Abi Bakar, iaitu ibarat daripada mati nafsu yang ammarah ...''Syeikh Ahmad
al-Fathani menjelaskan, bahawa nafsu ammarah, ialah ``nafsu yang cenderung
kepada kejahatan''.
2. Bermula hasilnya segala wujud
sesuatu itu dengan dinisbahkan kepada wujud Allah Taala yang haqiqi itu khayal,
dan waham, dan majaz jua, kerana wujudnya antara dua `adam Bermula wujud yang
antara dua `adam itu `adam jua adanya ...''. Keterangan Syeikh Ahmad
al-Fathani, ``Dua `adam, ertinya `adam lahiq dan `adam sabiq. Pengertian `adam
lahiq, ialah tiada yang mengikut. Pengertian `adam sabiq, ialah tiada yang
mendahului''.
3. Dan pada sekira-kira zahir mumkin
itu lain daripada Allah Taala. Dan sekira-kira haqiqatnya wujud mumkin itu,
iaitu `ain wujud Allah Taala. Dan misalnya seperti buih dan ombak...''.
Keterangan Syeikh Ahmad al-Fathani, ``Katanya, ``Dan pada sekira-kira zahir dan
pada sekira-kira haqiqat ...'', maka kedua (-dua) itu `athaf. Katanya, ``Pada
sekira-kira wujud, dan dhamir pada haqiqatnya dan dhamir pada nyatanya. Kedua
(-dua) itu kembali kepada buih, dan dhamir daripadanya itu kembali kepada
air''.
4. Syeikh Ahmad al-Fathani menjelaskan
istilah ma'iyah, kata beliau, ``Yakni berserta: a. ittihad = bersuatu. b. hulul
= bertempat. c. khayal, yakni apabila kita lihat jauh ada sesuatu, dan kita
lihat dekat tiada ada, seperti alung-alung di tengah jalan Madinah''. Ad-Durr
an- Nafis setelah cetakan pertama oleh Matba'ah al-Miriyah di Bulaq, Mesir
tahun 1302 H/1884 M yang diusahakan dan ditashhih oleh Syeikh Ahmad al-Fathani
itu terdapat berbagai-bagai edisi.
Sumber : serambi-hikmah
0 comments:
Post a Comment