Jatuh Ke Kolam
Nazaruddin hampir terjatuh ke kolam. Tapi orang yang tidak terlalu dikenal
berada di dekatnya, dan kemudian menolongnya pada saat yang tepat. Namun
setelah itu, setiap kali bertemu Nazaruddin orang itu selalu membicarakan
peristiwa itu, dan membuat Nazaruddin berterima kasih berulang-ulang. Suatu
hari, untuk yang kesekian kalinya, orang itu menyinggung peristiwa itu lagi.
Nazaruddin mengajaknya ke lokasi, dan kali ini Nazaruddin langsung melompat ke
air.
"Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku. Sudah, pergi sana!"
Yang Benar-benar Benar
Nazaruddin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nazaruddin berkata,"Aku rasa engkau benar."
Petugas majelis membujuk Nazaruddin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nazaruddin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nazaruddin kembali berkata, "Aku rasa engkau benar."
Petugas mengingatkan Nazaruddin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nazaruddin menatapnya lesu, dan kemudian berkata,"Aku rasa engkau benar."
Menjual Tangga
Nazarrudin mengambil tangganya dan menggunakannya untuk naik ke pohon tetangganya. Tetapi sang tetangga memergokinya.
"Sedang apa kau, Nazaruddin ?"
Nazarrudin berkata, "Aku ... punya sebuah tangga yang bagus, dan sedang aku jual."
"Dasar bodoh. Pohon itu bukan tempat menjual tangga!" kata sang tetangga, marah.
Nazaruddin bergaya filosof. "Tangga, bisa dijual di mana saja."
Seperti Wujudmu
Nazaruddin sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran Penciptanya.
"Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu.
Segala yang tampak oleh mataku.
Tampak seperti wujud-Mu."
Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada orang buruk dan bodoh lewat di depan matamu?"
Nazaruddin berbalik, menatapnya, dan menjawab,"Tampak seperti wujudmu."
Baju Dan Kuda
Nazaruddin diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah. Nazaruddin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka lebih cepat.
"Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku," jawab Nazaruddin ringan.
Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nazaruddin dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nazaruddin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya.
Sampai rumah, Nazaruddin tetap kering.
"Ini semua salahmu!" teriak tuan rumah, "Kamu membiarkan aku mengendarai kuda lamban itu!" "Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju."
Pada Sebuah Kapal
Nazaruddin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nazaruddin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.
"Kawan-kawan!" teriak Nazaruddin. "Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!"
Maklumat
Nazaruddin kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama kemudian, Nazaruddin tampak menyusun maklumat yang menawarkan setengah keping uang perak bagi yang menemukan dan mengembalikan sorbannya.
Seseorang protes, "Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu."
"Nah," kata Nazaruddin, "Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek."
Maklumat
Ada kabar angin bahwa Mullah Nazaruddin berprofesi juga sebagai penyelundup. Maka setiap melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar, Mullah Nazaruddin memang sering harus melintasi batas wilayah.
Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. "Aku tahu, Mullah, engkau penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu. Sekarang, jawablah penasaranku: apa yang engkau selundupkan ?"
"Jubah," jawab Nazaruddin, serius.
Maklumat
Dalam pengembaraannya, Nazaruddin singgah di ibukota. Di sana langsung timbul kabar burung bahwa Nazaruddin telah menguasai bahasa burung-burung. Raja sendiri akhirnya mendengar kabar itu. Maka dipanggillah Nazaruddin ke istana. Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada Nazaruddin, "Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!"
"Ia mengatakan," kata Nazaruddin, "Jika raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaannya akan segera runtuh seperti sarangnya."
Catatan:
Nazaruddin adalah seorang sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan Bangsa Mongol. Sewaktu masih sangat muda, Nasrudin selalu membuat ulah yang menarik bagi kawan-kawannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: "Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu."
"Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku. Sudah, pergi sana!"
Yang Benar-benar Benar
Nazaruddin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nazaruddin berkata,"Aku rasa engkau benar."
Petugas majelis membujuk Nazaruddin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nazaruddin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nazaruddin kembali berkata, "Aku rasa engkau benar."
Petugas mengingatkan Nazaruddin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nazaruddin menatapnya lesu, dan kemudian berkata,"Aku rasa engkau benar."
Menjual Tangga
Nazarrudin mengambil tangganya dan menggunakannya untuk naik ke pohon tetangganya. Tetapi sang tetangga memergokinya.
"Sedang apa kau, Nazaruddin ?"
Nazarrudin berkata, "Aku ... punya sebuah tangga yang bagus, dan sedang aku jual."
"Dasar bodoh. Pohon itu bukan tempat menjual tangga!" kata sang tetangga, marah.
Nazaruddin bergaya filosof. "Tangga, bisa dijual di mana saja."
Seperti Wujudmu
Nazaruddin sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran Penciptanya.
"Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu.
Segala yang tampak oleh mataku.
Tampak seperti wujud-Mu."
Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada orang buruk dan bodoh lewat di depan matamu?"
Nazaruddin berbalik, menatapnya, dan menjawab,"Tampak seperti wujudmu."
Baju Dan Kuda
Nazaruddin diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah. Nazaruddin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka lebih cepat.
"Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku," jawab Nazaruddin ringan.
Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nazaruddin dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nazaruddin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya.
Sampai rumah, Nazaruddin tetap kering.
"Ini semua salahmu!" teriak tuan rumah, "Kamu membiarkan aku mengendarai kuda lamban itu!" "Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju."
Pada Sebuah Kapal
Nazaruddin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nazaruddin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.
"Kawan-kawan!" teriak Nazaruddin. "Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!"
Maklumat
Nazaruddin kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama kemudian, Nazaruddin tampak menyusun maklumat yang menawarkan setengah keping uang perak bagi yang menemukan dan mengembalikan sorbannya.
Seseorang protes, "Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu."
"Nah," kata Nazaruddin, "Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek."
Maklumat
Ada kabar angin bahwa Mullah Nazaruddin berprofesi juga sebagai penyelundup. Maka setiap melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar, Mullah Nazaruddin memang sering harus melintasi batas wilayah.
Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. "Aku tahu, Mullah, engkau penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu. Sekarang, jawablah penasaranku: apa yang engkau selundupkan ?"
"Jubah," jawab Nazaruddin, serius.
Maklumat
Dalam pengembaraannya, Nazaruddin singgah di ibukota. Di sana langsung timbul kabar burung bahwa Nazaruddin telah menguasai bahasa burung-burung. Raja sendiri akhirnya mendengar kabar itu. Maka dipanggillah Nazaruddin ke istana. Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada Nazaruddin, "Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!"
"Ia mengatakan," kata Nazaruddin, "Jika raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaannya akan segera runtuh seperti sarangnya."
Catatan:
Nazaruddin adalah seorang sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan Bangsa Mongol. Sewaktu masih sangat muda, Nasrudin selalu membuat ulah yang menarik bagi kawan-kawannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: "Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu."
0 comments:
Post a Comment