December 25, 2012

Kisah Nazaruddin dan Timur Lenk


Keadilan dan Kelaliman
Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundangi para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang sama:
"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."

Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Nazaruddin diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Nazaruddin yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh :

"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."

Dan dengan menenangkan diri, Nazaruddin menjawab:
"Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami."

Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.


Keledai Membaca
Timur Lenk menghadiahi Nazaruddin seekor keledai. Nazaruddin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,
"Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."

Nazaruddin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nazaruddin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nazaruddin.

"Demikianlah," kata Nazaruddin, "Keledaiku sudah bisa membaca."

Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?"

Nazaruddin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar."

"Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?"

Nazaruddin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan?"


Itik Berkaki Satu
Sekali lagi Nazaruddin diundang Timur Lenk. Nazaruddin ingin membawa buah tangan berupa itik panggang. Sayang sekali, itik itu telah dimakan Nazaruddin sebuah kakinya pagi itu. Setelah berpikir-pikir, akhirnya Nazaruddin membawa juga itik panggang berkaki satu itu menghadap Timur Lenk.

Seperti yang kita harapkan, Timur Lenk bertanya pada Nazaruddin, "Mengapa itik panggang ini hanya berkaki satu, Mullah?"

"Memang di negeri ini itik-itik hanya memiliki satu kaki. Kalau Anda tidak percaya, cobalah lihat di kolam."

Mereka berdua berjalan ke kolam. Di sana, banyak itik berendam sambil mengangkat sebuah kakinya, sehingga nampak hanya berkaki satu.

"Lihatlah," kata Nazaruddin puas, "Di sini itik hanya berkaki satu."

Tentu Timur Lenk tidak mau ditipu. Maka ia pun berteriak keras. Semua itik kaget, menurunkan kaki yang dilipat, dan beterbangan.

Tapi Nazaruddin tidak kehilangan akal. "Subhanallah," katanya, "Bahkan itik pun takut pada keinginan Anda. Barangkali kalau Anda meneriaki saya, saya akan ketakutan dan secara reflek menggandakan kaki jadi empat dan kemudian terbang juga."


Gelar Timur Lenk
Timur Lenk mulai mempercayai Nazaruddin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.

"Nazaruddin," katanya suatu hari, "Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil 'Alallah, Al-Mu'tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku?"

Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Nazaruddin menemukan jawabannya. "Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja."

* "Aku berlindung kepada Allah (darinya)"


Timur Lenk di Akhirat
Timur Lenk meneruskan perbincangan dengan Nazaruddin soal kekuasaannya.

"Nazaruddin! Menurutmu, di manakah tempatku di akhirat, menurut kepercayaanmu ? Apakah aku ditempatkan bersama orang-orang yang mulia atau yang hina?"

Bukan Nazaruddin kalau ia tak dapat menjawab pertanyaan 'semudah' ini.

"Raja penakluk seperti Anda," jawab Nazaruddin, "Insya Allah akan ditempatkan bersama raja-raja dan tokoh-tokoh yang telah menghiasi sejarah."

Timur Lenk benar-benar puas dan gembira. "Betulkah itu, Nazaruddin?"

"Tentu," kata Nazaruddin dengan mantap. "Saya yakin Anda akan ditempatkan bersama Fir'aun dari Mesir, raja Namrudz dari Babilon, kaisar Nero dari Romawi, dan juga Jenghis Khan."

Entah mengapa, Timur Lenk masih juga gembira mendengar jawaban itu.


Harga Timur Lenk di Dunia
Timur Lenk masih meneruskan perbincangan dengan Nazaruddin soal kekuasaannya.

"Nazaruddin! Kalau setiap benda yang ada di dunia ini ada harganya, berapakah hargaku?"

Kali ini Nazaruddin menjawab sekenanya, tanpa banyak berpikir.

"Saya taksir, sekitar 100 dinar saja"

Timur Lenk membentak Nazaruddin, "Keterlaluan! Apa kau tahu bahwa ikat pinggangku saja harganya sudah 100 dinar."

"Tepat sekali," kata Nazaruddin. "Memang yang saya nilai dari Anda hanya sebatas ikat pinggang itu saja."


Nazaruddin Pemungut Pajak
Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-robek buku-buku itu satu per satu itu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.

Timur Lenk memerintahkan Nazaruddin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Nazaruddin mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Nazaruddin pun dipanggil.

Nazaruddin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat.

"Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Nazaruddin?" bentak Timur Lenk. "Laporan keuangan saya catat pada roti ini, Paduka," jawab Nazaruddin dengan gaya pejabat.

"Kau berpura-pura gila lagi, Nazaruddin?" Timur Lenk lebih marah lagi. Nazaruddin menjawab takzim, "Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini."


Nazaruddin Memanah
Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Nazaruddin. Karena Nazaruddin cerdas dan cerdik, ia tidak mau mengambil resiko beradu pikiran. Maka diundangnya Nazaruddin ke tengah-tengah prajuritnya. Dunia prajurit, dunia otot dan ketangkasan.

"Ayo Nazaruddin," kata Timur Lenk, "Di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuanmu memanah. Panahlah sekali saja. Kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah besar menantimu. Tapi kalau gagal, engkau harus merangkak jalan pulang ke rumahmu."

Nazaruddin terpaksa mengambil busur dan tempat anak panah. Dengan memantapkan hati, ia membidik sasaran, dan mulai memanah. Panah melesat jauh dari sasaran. Segera setelah itu, Nazaruddin berteriak, "Demikianlah gaya tuan wazir memanah."

Segera dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Masih juga panah meleset dari sasaran. Nazaruddin berteriak lagi, "Demikianlah gaya tuan walikota memanah."

Nazaruddin Segera mencabut sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Kebetulan kali ini panahnya menyentuh sasaran. Nazaruddin pun berteriak lagi, "Dan yang ini adalah gaya Nazaruddin memanah. Untuk itu kita tunggu hadiah dari Paduka Raja."

Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah Nazaruddin.

0 comments:

Post a Comment