Jubah Hitam
Nazaruddin berjalan di jalan raya dengan mengenakan jubah hitam tanda duka,
ketika seseorang bertanya, "Mengapa engkau berpakaian seperti ini,
Nazaruddin? Apa ada yang meninggal."
"Yah," kata sang Mullah, "Bisa saja terjadi tanpa kita diberi tahu."
Kegunaan Tali
Tetangga Nazaruddin ingin meminjam ali jemuran.
"Maaf," kata Nazaruddin, "Aku sedang memakainya untuk mengeringkan lantai"
"Bagaimana mungkin ? Mengeringkan lantai dengan tali jemuran ?"
"Tidak ada yang sulit kalau kita sudah punya pikiran untuk tidak meminjamkannya kepada orang lain."
Umur Nazaruddin
"Berapa umurmu, Nazaruddin ?"
"Empat puluh tahun."
"Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama."
"Aku konsisten."
Pelayan Raja
Nazaruddin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali.
"Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?" tanya raja kepada Nazaruddin.
"Teramat baik, Tuanku."
Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak:
"Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!"
"Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku." ujar Nazaruddin.
"Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik."
"Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran."
Harmoni Buah-Buahan
Nazaruddin bersantai di bawah pohon arbei di kebunnya. Dilihatnya seluruh kebun, terutama tanaman labu yang mulai berbuah besar-besar dan ranum. Seperti biasa, Nazaruddin merenung.
"Aku heran, apa sebabnya pohon arbei sebesar ini hanya bisa menghasilkan buah yang kecil. Padahal, labu yang merambat dan mudah patah saja bisa menghasilkan buah yang besar-besar."
Angin kecil bertiup. Ranting arbei bergerak dan saling bergesekan. Sebiji buah arbei jatuh tepat di kepala Nazaruddin yang sedang tidak bersorban.
"Ah. Kurasa aku tahu sebabnya."
Cara Membaca Buku
Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nazaruddin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. nasrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nazaruddin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
"Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!"
"Aku tahu," jawab Nazaruddin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."
Hidangan Untuk Baju {1}
Nazaruddin menghadiri sebuah pesta. Tetapi karena hanya memakai pakaian yang tua dan buruk, tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Dengan kecewa Nazaruddin pulang kembali.
Namun tak lama, Nazaruddin kembali dengan memakai pakaian yang baru dan indah. Kali ini Tuang Rumah menyambutnya dengan ramah. Ia diberi tempat duduk dan memperoleh hidangan seperti tamu-tamu lainnya.
Tetapi Nazaruddin segera melepaskan baju itu di atas hidangan dan berseru, "Hei baju baru, makanlah! Makanlah sepuas-puasmu!"
Untuk mana ia memberikan alasan "Ketika aku datang dengan baju yang tadi, tidak ada seorang pun yang memberi aku makan. Tapi waktu aku kembali dengan baju yang ini, aku mendapatkan tempat yang bagus dan makanan yang enak. Tentu saja ini hak bajuku. Bukan untukku."
Hidangan untuk Baju {2}
Nazaruddin menghadiri sebuah pesta pernikahan. Dilihatnya seorang sahabatnya sedang asyik makan. Namun, di samping makan sebanyak-banyaknya, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan makanan.
Melihat kerakusan sahabatnya, Nazaruddin mengambil teko berisi air. Diam-dian, diisinya kantong baju sahabatnya dengan air. Tentu saja sahabatnya itu terkejut, dan berteriak,
"Hai Nazaruddin, gilakah kau ? Masa kantongku kau tuangi air!"
"Maaf, aku tidak bermaksud buruk, sahabat," jawab Nazaruddin, "Karena tadi kulihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantongmu, maka aku khawatir dia akan haus. Karena itu kuberi minum secukupnya."
Penampilan Itu Perlu
Nazaruddin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.
"Tapi aku mengabdi kepada Allah saja," kata Nazaruddin.
"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah," kata istrinya.
Nazaruddin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, "Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nazaruddin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nazaruddin. Tapi ia terkejut waktu Nazaruddin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak "Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah."
Sang tetangga menyerbu rumah Nazaruddin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nazaruddin menjawab "Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah."
Tetangganya marah. Ia mengajak Nazaruddin menghadap hakim. Nazaruddin berkelit, "Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin."
Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.
Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Nazaruddin segera mengadukan halnya pada hakim.
"Bagaimana pembelaanmu?" tanya hakim pada Nazaruddin.
"Tetangga saya ini gila, Tuan," kata Nazaruddin.
"Apa buktinya?" tanya hakim.
"Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya."
Dengan kaget, sang tetangga berteriak, "Tetapi itu semua memang milikku!"
Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.
Relativitas Keju
Setelah bepergian jauh, Nazaruddin tiba kembali di rumah. Istrinya menyambut dengan gembira,
"Aku punya sepotong keju untukmu," kata istrinya.
"Alhamdulillah," puji Nazaruddin, "Aku suka keju. Keju itu baik untuk kesehatan perut."
Tidak lama Nazaruddin kembali pergi. Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga.
"Adakah keju untukku ?" tanya Nazaruddin.
"Tidak ada lagi," kata istrinya.
Kata Nazaruddin, "Yah, tidak apa-apa. Lagipula keju itu tidak baik bagi kesehatan gigi."
"Jadi mana yang benar ?" kata istri Nazaruddin bertanya-tanya, "Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk gigi ?"
"Itu tergantung," sambut Nazaruddin, "Tergantung apakah kejunya ada atau tidak."
Satu-Satunya Baju
Nazaruddin sedang mengembara cukup jauh ketika ia sampai di sebuah kampung yang sangat kekurangan air. Menyambut Nazaruddin, beberapa penduduk mengeluh,
"Sudah enam bulan tidak turun hujan di tempat ini, ya Mullah. Tanaman-tanaman mati. Air persediaan kami tinggan beberapa kantong lagi. Tolonglah kami. Berdoalah meminta hujan."
Nazaruddin mau menolong mereka. Tetapi ia minta dulu seember air. Maka datanglah setiap kepala keluarga membawa air terakhir yang mereka miliki. Total terkumpul hanya setengah ember air.
Nazaruddin melepas pakaiannya yang kotor, dan dengan air itu, Nazaruddin mulai mencucinya. Penduduk kampung terkejut,
"Mullah ! Itu air terakhir kami, untuk minum anak-anak kami!"
Di tengah kegaduhan, dengan tenang Nazaruddin mengangkat bajunya, dan menjemurnya. Pada saat itu, terdengar guntur dahsyat, yang disusul hujan lebat. Penduduk lupa akan marahnya, dan mereka berteriak gembira.
"Bajuku hanya satu ini," kata Nazaruddin di tengah hujan dan teriakan penduduk, "Bila aku menjemurnya, pasti hujan turun deras!"
Sama Rata Sama Rasa
Seorang filosof menyampaikan pendapat, "Segala sesuatu harus dibagi sama rata."
"Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan," kata seorang pendengar yang skeptik.
"Tapi pernahkah engkau mencobanya?" balas sang filosof.
"Aku pernah," sahut Nazaruddin, "Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa pun yang mereka inginkan."
"Bagus sekali," kata sang filosof, "Dan bagaimana hasilnya ?"
"Hasilnya ? Seekor keledai yang baik dan seorang istri yang buruk."
Kekekalan Massa
Ketika memiliki uang cukup banyak, Nazaruddin membeli ikan di pasar dan membawanya ke rumah. Ketika istrinya melihat ikan yang banyak itu, ia berpikir, "Oh, sudah lama aku tidak mengundang teman-temanku makan di sini."
Ketika malam itu Nazaruddin pulang kembali, ia berharap ikannya sudah dimasakkan untuknya. Alangkah kecewanya ia melihat ikan-ikannya itu sudah habis, tinggal duri-durinya saja.
"Siapa yang menghabiskan ikan sebanyak ini ?"
Istrinya menjawab, "Kucingmu itu, tentu saja. Mengapa kau pelihara juga kucing yang nakal dan rakus itu!"
Nazaruddin pun makan malam dengan seadanya saja. Setelah makan, dipanggilnya kucingnya, dibawanya ke kedai terdekat, diangkatnya ke timbangan, dan ditimbangnya. Lalu ia pulang ke rumah, dan berkata cukup keras,
"Ikanku tadi dua kilo beratnya. Yang barusan aku timbang ini juga dua kilo. Kalau kucingku dua kilo, mana ikannya ? Dan kalau ini ikan dua kilo, lalu mana kucingnya ?"
"Yah," kata sang Mullah, "Bisa saja terjadi tanpa kita diberi tahu."
Kegunaan Tali
Tetangga Nazaruddin ingin meminjam ali jemuran.
"Maaf," kata Nazaruddin, "Aku sedang memakainya untuk mengeringkan lantai"
"Bagaimana mungkin ? Mengeringkan lantai dengan tali jemuran ?"
"Tidak ada yang sulit kalau kita sudah punya pikiran untuk tidak meminjamkannya kepada orang lain."
Umur Nazaruddin
"Berapa umurmu, Nazaruddin ?"
"Empat puluh tahun."
"Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama."
"Aku konsisten."
Pelayan Raja
Nazaruddin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali.
"Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?" tanya raja kepada Nazaruddin.
"Teramat baik, Tuanku."
Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak:
"Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!"
"Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku." ujar Nazaruddin.
"Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik."
"Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran."
Harmoni Buah-Buahan
Nazaruddin bersantai di bawah pohon arbei di kebunnya. Dilihatnya seluruh kebun, terutama tanaman labu yang mulai berbuah besar-besar dan ranum. Seperti biasa, Nazaruddin merenung.
"Aku heran, apa sebabnya pohon arbei sebesar ini hanya bisa menghasilkan buah yang kecil. Padahal, labu yang merambat dan mudah patah saja bisa menghasilkan buah yang besar-besar."
Angin kecil bertiup. Ranting arbei bergerak dan saling bergesekan. Sebiji buah arbei jatuh tepat di kepala Nazaruddin yang sedang tidak bersorban.
"Ah. Kurasa aku tahu sebabnya."
Cara Membaca Buku
Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nazaruddin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. nasrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nazaruddin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
"Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!"
"Aku tahu," jawab Nazaruddin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."
Hidangan Untuk Baju {1}
Nazaruddin menghadiri sebuah pesta. Tetapi karena hanya memakai pakaian yang tua dan buruk, tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Dengan kecewa Nazaruddin pulang kembali.
Namun tak lama, Nazaruddin kembali dengan memakai pakaian yang baru dan indah. Kali ini Tuang Rumah menyambutnya dengan ramah. Ia diberi tempat duduk dan memperoleh hidangan seperti tamu-tamu lainnya.
Tetapi Nazaruddin segera melepaskan baju itu di atas hidangan dan berseru, "Hei baju baru, makanlah! Makanlah sepuas-puasmu!"
Untuk mana ia memberikan alasan "Ketika aku datang dengan baju yang tadi, tidak ada seorang pun yang memberi aku makan. Tapi waktu aku kembali dengan baju yang ini, aku mendapatkan tempat yang bagus dan makanan yang enak. Tentu saja ini hak bajuku. Bukan untukku."
Hidangan untuk Baju {2}
Nazaruddin menghadiri sebuah pesta pernikahan. Dilihatnya seorang sahabatnya sedang asyik makan. Namun, di samping makan sebanyak-banyaknya, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan makanan.
Melihat kerakusan sahabatnya, Nazaruddin mengambil teko berisi air. Diam-dian, diisinya kantong baju sahabatnya dengan air. Tentu saja sahabatnya itu terkejut, dan berteriak,
"Hai Nazaruddin, gilakah kau ? Masa kantongku kau tuangi air!"
"Maaf, aku tidak bermaksud buruk, sahabat," jawab Nazaruddin, "Karena tadi kulihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantongmu, maka aku khawatir dia akan haus. Karena itu kuberi minum secukupnya."
Penampilan Itu Perlu
Nazaruddin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.
"Tapi aku mengabdi kepada Allah saja," kata Nazaruddin.
"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah," kata istrinya.
Nazaruddin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, "Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nazaruddin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nazaruddin. Tapi ia terkejut waktu Nazaruddin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak "Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah."
Sang tetangga menyerbu rumah Nazaruddin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nazaruddin menjawab "Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah."
Tetangganya marah. Ia mengajak Nazaruddin menghadap hakim. Nazaruddin berkelit, "Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin."
Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.
Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Nazaruddin segera mengadukan halnya pada hakim.
"Bagaimana pembelaanmu?" tanya hakim pada Nazaruddin.
"Tetangga saya ini gila, Tuan," kata Nazaruddin.
"Apa buktinya?" tanya hakim.
"Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya."
Dengan kaget, sang tetangga berteriak, "Tetapi itu semua memang milikku!"
Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.
Relativitas Keju
Setelah bepergian jauh, Nazaruddin tiba kembali di rumah. Istrinya menyambut dengan gembira,
"Aku punya sepotong keju untukmu," kata istrinya.
"Alhamdulillah," puji Nazaruddin, "Aku suka keju. Keju itu baik untuk kesehatan perut."
Tidak lama Nazaruddin kembali pergi. Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga.
"Adakah keju untukku ?" tanya Nazaruddin.
"Tidak ada lagi," kata istrinya.
Kata Nazaruddin, "Yah, tidak apa-apa. Lagipula keju itu tidak baik bagi kesehatan gigi."
"Jadi mana yang benar ?" kata istri Nazaruddin bertanya-tanya, "Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk gigi ?"
"Itu tergantung," sambut Nazaruddin, "Tergantung apakah kejunya ada atau tidak."
Satu-Satunya Baju
Nazaruddin sedang mengembara cukup jauh ketika ia sampai di sebuah kampung yang sangat kekurangan air. Menyambut Nazaruddin, beberapa penduduk mengeluh,
"Sudah enam bulan tidak turun hujan di tempat ini, ya Mullah. Tanaman-tanaman mati. Air persediaan kami tinggan beberapa kantong lagi. Tolonglah kami. Berdoalah meminta hujan."
Nazaruddin mau menolong mereka. Tetapi ia minta dulu seember air. Maka datanglah setiap kepala keluarga membawa air terakhir yang mereka miliki. Total terkumpul hanya setengah ember air.
Nazaruddin melepas pakaiannya yang kotor, dan dengan air itu, Nazaruddin mulai mencucinya. Penduduk kampung terkejut,
"Mullah ! Itu air terakhir kami, untuk minum anak-anak kami!"
Di tengah kegaduhan, dengan tenang Nazaruddin mengangkat bajunya, dan menjemurnya. Pada saat itu, terdengar guntur dahsyat, yang disusul hujan lebat. Penduduk lupa akan marahnya, dan mereka berteriak gembira.
"Bajuku hanya satu ini," kata Nazaruddin di tengah hujan dan teriakan penduduk, "Bila aku menjemurnya, pasti hujan turun deras!"
Sama Rata Sama Rasa
Seorang filosof menyampaikan pendapat, "Segala sesuatu harus dibagi sama rata."
"Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan," kata seorang pendengar yang skeptik.
"Tapi pernahkah engkau mencobanya?" balas sang filosof.
"Aku pernah," sahut Nazaruddin, "Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa pun yang mereka inginkan."
"Bagus sekali," kata sang filosof, "Dan bagaimana hasilnya ?"
"Hasilnya ? Seekor keledai yang baik dan seorang istri yang buruk."
Kekekalan Massa
Ketika memiliki uang cukup banyak, Nazaruddin membeli ikan di pasar dan membawanya ke rumah. Ketika istrinya melihat ikan yang banyak itu, ia berpikir, "Oh, sudah lama aku tidak mengundang teman-temanku makan di sini."
Ketika malam itu Nazaruddin pulang kembali, ia berharap ikannya sudah dimasakkan untuknya. Alangkah kecewanya ia melihat ikan-ikannya itu sudah habis, tinggal duri-durinya saja.
"Siapa yang menghabiskan ikan sebanyak ini ?"
Istrinya menjawab, "Kucingmu itu, tentu saja. Mengapa kau pelihara juga kucing yang nakal dan rakus itu!"
Nazaruddin pun makan malam dengan seadanya saja. Setelah makan, dipanggilnya kucingnya, dibawanya ke kedai terdekat, diangkatnya ke timbangan, dan ditimbangnya. Lalu ia pulang ke rumah, dan berkata cukup keras,
"Ikanku tadi dua kilo beratnya. Yang barusan aku timbang ini juga dua kilo. Kalau kucingku dua kilo, mana ikannya ? Dan kalau ini ikan dua kilo, lalu mana kucingnya ?"
0 comments:
Post a Comment